Akhir-akhir ini, kita sering mendengar seorang TikTokers asal Lampung yang mengkritik keadaan daerahnya sendiri. Ia mengungkapkan segala kekecewaannya terhadap kondisi Lampung yang sulit mengalami kemajuan. Hal ini tentu menjadi pusat perhatian berskala nasional sebab kritikan yang disampaikan, berpotensi menyesatkan dirinya pada pihak polisi. Melihat yang demikian ini, bukankah kita tahu bahwa kebebasan berpendapat merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin langsung oleh konstitusi? Namun, lagi-lagi negara belum mampu memenuhi dan melindungi hak-hak tersebut.
Dilansir dari portal online Kompas.com, hak kebebasan berpendapat tercantum dalam pasal 28 dan pasal 28E ayat 3 Undang Undang Dasar (UUD) 1945, yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selain itu, jaminan kebebasan berkumpul dan berpendapat juga termaktub dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights).
Jika bebas berpendapat saja menjadi kasus yang dihadapkan langsung dengan pihak polisi, lantas bagaimana masa depan negeri kita? Bukankah kebebasan berpendapat itu sangat dibutuhkan demi terwujudnya pemerintah yang demokratis? Bahkan masyarakat pun memiliki hak penuh dalam menyampaikan segala ekspresinya melalui kritik dan saran sebagai bentuk pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Bila pemerintah menjadi anti kritik, tidak dapat dipungkiri pemerintahan negara Indonesia akan dianggap bebal oleh mata dunia.
Tahukah kamu, apa itu kebebasan berpendapat?
Kebebasan berpendapat adalah kebebasan yang mengacu pada sebuah hak untuk berbicara atau berpendapat secara bebas tanpa adanya pembatasan, kecuali dalam hal menyebarkan kejelekan. Kebebasan berpendapat menjadi suatu hal yang dijamin oleh konstitusi. Bahkan landasan hukumnya tertera dalam UUD 1945 pada pasal 28E ayat 3.
Kebebasan berpendapat atau mengkritik tentu sangat berbeda dengan nyinyir. Perbedaannya terletak pada sifatnya, bahwa menyinyir bersifat subjektif, mencela, dan tidak berdasarkan data dan fakta. Sedangkan kritik bersifat membangun dan argumentasinya berdasarkan pada data dan fakta. Tujuannya pun sangat berbeda, kritik tidak bertujuan untuk memprovokasi orang lain agar melakukan kebencian berdasarkan pada SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Pelanggaran Kebebasan Berpendapat di Indonesia
Berdasarkan laporan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mencatat dari rentang tahun 2020-2021 bahwa terdapat 44 kasus terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi. Angka tersebut berasal dari 29 kasus pengaduan masyarakat dan 15 kasus dari media monitoring yang dilakukan oleh Tim Pemantauan Situasi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat.
Adapun Amnesty Internasional mencatat terdapat 132 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE dengan total 157 korban sepanjang 2020, termasuk di antaranya 15 aktivis dan empat jurnalis. Jumlah kasus tersebut adalah jumlah terbanyak dalam enam tahun terakhir. Bahkan Sepanjang tahun 2021, pembela HAM menjadi salah satu kelompok yang paling dalam bahaya.
Dalam hal ini, Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disalahgunakan sehingga kita pun tidak tahu di mana letak urgensinya UU ITE yang benar-benar berlandaskan perlindungan hak asasi manusia itu. Dengan demikian, pemerintah Indonesia tidak boleh tinggal diam dan harus segera memperbaiki komitmen mereka terhadap penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Jangan sampai para pembela HAM mendapatkan segala bentuk serangan yang tak patut terhadap hak mereka atas kebebasan berekspresinya.