Sukuk Sebagai Instrumen Investasi Syariah: Potensi dan Resiko

Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah, sukuk (surat berharga syariah) semakin menunjukkan daya tariknya sebagai instrumen investasi yang etis, aman, dan berkelanjutan. Tidak seperti obligasi konvensional yang berbasis utang dan mengandung unsur bunga (riba), sukuk merepresentasikan kepemilikan atas aset atau proyek riil yang mendasarinya, serta memberikan imbal hasil yang halal sesuai prinsip syariah.

 

Pertumbuhan pesat pasar keuangan syariah di Indonesia menjadi bukti nyata meningkatnya permintaan terhadap instrumen investasi alternatif yang tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga selaras dengan nilai-nilai moral dan religius. Pemerintah dan sektor swasta secara aktif mendorong penerbitan sukuk, baik untuk pembiayaan proyek infrastruktur strategis maupun program pembangunan berkelanjutan lainnya.

 

Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan tren positif dalam perkembangan sukuk korporasi melalui penawaran umum. Hingga Maret 2025, nilai outstanding sukuk korporasi tercatat sebesar Rp. 62,53 triliun dengan jumlah penerbitan kumulatif mencapai 545 sukuk, menunjukkan adanya pertumbuhan yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Fakta ini menegaskan peran strategis sukuk tidak hanya sebagai alat investasi syariah, tetapi juga sebagai pendorong pembiayaan jangka panjang yang mendukung stabilitas ekonomi nasional.

 

Pengertian Sukuk dan Jenisnya.

Sukuk adalah surat berharga berbasis syariah yang mencerminkan kepemilikan atas aset riil atau manfaat dari aset tersebut. Berbeda dari obligasi konvensional yang didasarkan pada utang dan bunga (riba), sukuk disusun berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang melarang unsur riba, ketidakpastian (gharar), dan spekulasi (maisir). Oleh karena itu, pemegang sukuk tidak mendapatkan bunga, melainkan imbal hasil dari pendapatan yang dihasilkan oleh aset yang mendasari sukuk, seperti melalui sistem bagi hasil, margin keuntungan, atau sewa. Saat jatuh tempo, pemegang sukuk juga menerima kembali pokok investasinya.

 

Di Indonesia, keberadaan sukuk memiliki dasar hukum yang kuat baik dari sisi regulasi negara maupun fatwa keagamaan. Regulasi penting yang mengatur sukuk antara lain adalah Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 18/POJK.04/2015 mengenai penerbitan dan persyaratan sukuk. Sementara itu, dari sisi syariah, sukuk merujuk pada fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), seperti Fatwa No. 32/2002 tentang Obligasi Syariah, Fatwa No. 69/2008 tentang SBSN, dan Fatwa No. 138/2020 tentang Sukuk. Seluruh regulasi ini menjamin bahwa penerbitan dan pelaksanaan sukuk sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan hukum nasional.

 

Terdapat beberapa jenis sukuk yang diklasifikasikan berdasarkan akad syariah yang digunakan. Sukuk Ijarah didasarkan pada akad sewa manfaat aset, sementara Sukuk Mudharabah melibatkan kerja sama antara pemilik modal dan pengelola dengan sistem bagi hasil. Sukuk Musyarakah adalah bentuk kerja sama modal antara dua pihak atau lebih. Sementara itu, Sukuk Murabahah menggunakan akad jual beli dengan margin keuntungan yang disepakati. Adapun Sukuk Istisna’ dan Salam digunakan untuk pembiayaan proyek atau pengadaan barang di masa depan.

 

Walaupun memiliki perbedaan dalam akad, seluruh jenis sukuk berlandaskan pada keterikatan dengan aset riil dan menjunjung tinggi transparansi. Hal ini menjadikan sukuk sebagai instrumen keuangan yang tidak hanya sesuai syariah, tetapi juga etis dan stabil.

 

Perbedaan Sukuk dan Obligasi Konvensional

 

Perbedaan Sukuk dan Obligasi Konvesional

Secara prinsip, sukuk dan obligasi sama-sama berfungsi sebagai instrumen penghimpun dana. Namun, keduanya berbeda dalam aspek struktur hukum, sumber imbal hasil, dan kesesuaian syariah. Sukuk mewakili kepemilikan atas aset dan imbal hasilnya berasal dari pendapatan atas aset tersebut (misalnya sewa), sedangkan obligasi adalah instrumen utang yang memberi bunga. Selain itu, sukuk wajib memiliki aset dasar yang halal, sementara obligasi tidak memiliki batasan tersebut. Struktur sukuk juga melibatkan pihak-pihak tambahan seperti Special Purpose Vehicle (SPV) dan trustee untuk menjaga kepatuhan syariah.

 

Potensi Sukuk sebagai Instrumen Investasi Syariah

Sukuk memiliki potensi besar sebagai instrumen investasi yang tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga selaras dengan prinsip-prinsip syariah dan tujuan pembangunan berkelanjutan. Beberapa faktor berikut memperkuat posisi sukuk dalam pasar keuangan syariah:

 

1. Memberi Manfaat Luas bagi Masyarakat

Hingga 15 Februari 2024, total penerbitan Sukuk Negara telah mencapai Rp. 2.572,49 triliun, dengan outstanding sebesar Rp. 1.480,49 triliun. Sejak 2013, Sukuk Proyek telah mengucurkan pembiayaan sebesar Rp. 242,72 triliun untuk lebih dari 6.100 proyek strategis di bidang infrastruktur, pendidikan, dan energi.

 

Data tersebut menegaskan peran penting sukuk tidak hanya sebagai instrumen keuangan, tetapi juga sebagai motor penggerak pembangunan berkelanjutan dan pemerataan kesejahteraan.

 

2. Permintaan Tinggi terhadap Investasi Halal dan Etis

Tingginya kesadaran masyarakat, khususnya umat Muslim, untuk mengelola keuangan secara syariah telah meningkatkan permintaan terhadap produk investasi yang bebas dari unsur riba, gharar, dan maisir. Sukuk hadir dengan struktur berbasis aset nyata yang transparan dan aman secara hukum, sehingga mampu memenuhi kebutuhan investor yang mengedepankan kepatuhan syariah.

 

3. Dukungan Regulasi dan Kebijakan Pemerintah

Pemerintah Indonesia secara aktif mendorong pengembangan pasar sukuk melalui berbagai instrumen seperti Sukuk Negara Ritel (SR), Sukuk Tabungan (ST), dan Sukuk Proyek. Regulasi yang kuat dari Kementerian Keuangan, OJK, dan DSN-MUI turut menciptakan ekosistem investasi syariah yang stabil dan progresif.

 

Sukuk juga menjadi bagian dari strategi pembiayaan pembangunan nasional. Ketika investor membeli sukuk, mereka tidak hanya memperoleh keuntungan finansial, tetapi juga berpartisipasi langsung dalam pembangunan bangsa.

 

4. Diversifikasi Investasi Syariah yang Stabil

Di tengah dominasi saham dan deposito syariah, sukuk menawarkan alternatif yang lebih stabil dan cocok bagi investor konservatif hingga moderat. Sukuk memberikan kepastian imbal hasil dan pengembalian pokok, serta digunakan secara luas dalam portofolio reksa dana syariah maupun penempatan dana bank syariah.

 

Risiko dalam Investasi Sukuk

Meskipun sukuk memiliki banyak keunggulan, tetap terdapat risiko yang perlu diperhatikan oleh investor. Pemahaman terhadap risiko ini penting agar keputusan investasi dilakukan secara rasional dan terukur. Salah satu tantangan dalam pengembangan sukuk secara internasional adalah belum adanya standarisasi fatwa terkait struktur produk syariah di berbagai negara. Standar yang dikeluarkan oleh AAOIFI juga belum secara universal diadopsi. Hal ini menghambat keterlibatan lintas negara dan menimbulkan keraguan dalam kolaborasi investasi sukuk internasional.

 

1. Risiko Kredit (Credit Risk)

Risiko kredit muncul jika penerbit tidak mampu memenuhi kewajibannya dalam membayar imbal hasil atau melunasi pokok pada saat jatuh tempo. Kegagalan proyek, kondisi keuangan yang memburuk, atau gangguan operasional dapat menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, penting bagi investor untuk mempertimbangkan peringkat kredit sebelum berinvestasi.

 

2. Risiko Pasar (Market Risk)

Sukuk dapat mengalami fluktuasi nilai akibat perubahan suku bunga acuan, inflasi, dan kondisi makroekonomi. Walaupun sukuk tidak berbasis bunga, kenaikan suku bunga konvensional dapat menurunkan daya tariknya di pasar sekunder.

 

3. Risiko Likuiditas (Liquidity Risk)

Pasar sekunder sukuk di Indonesia masih belum seaktif obligasi konvensional. Hal ini dapat menyulitkan investor untuk menjual sukuk sebelum jatuh tempo tanpa mengalami kerugian harga, terutama bagi mereka yang membutuhkan fleksibilitas tinggi.

 

4. Risiko Kepatuhan Syariah (Sharia Compliance Risk)

Jika dalam praktiknya struktur sukuk tidak sesuai dengan prinsip syariah atau fatwa yang berlaku, maka keabsahan instrumen tersebut dapat diragukan. Hal ini dapat merusak kepercayaan investor, terutama yang sangat memperhatikan kehalalan investasi.

 

5. Risiko Operasional dan Hukum (Operational and Legal Risk)

Struktur sukuk yang kompleks melibatkan banyak pihak seperti SPV, trustee, dan pengelola aset. Kompleksitas ini dapat menimbulkan risiko administratif, kontraktual, atau hukum. Perbedaan interpretasi hukum syariah antarnegara juga dapat menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hak investor.

No Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *