Islam dan Hak Asasi Manusia: Titik Temu Syariat dan Kemanusiaan

sumber: canva.com

Isu Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan tema yang terus hidup dan relevan dalam peradaban manusia. Di dunia modern, HAM menjadi fondasi etika global yang menjunjung tinggi martabat setiap individu. Namun, dalam konteks Islam, nilai-nilai ini bukanlah hal baru. Jauh sebelum deklarasi HAM tahun 1948, ajaran Islam telah lebih dulu menempatkan manusia pada posisi mulia dengan hak dan tanggung jawab yang jelas.

 

HAM sendiri didefinisikan sebagai hak dasar yang melekat pada setiap manusia sejak lahir. Hak ini berlaku tanpa diskriminasi, tak bisa dicabut, dan menjadi tanggung jawab semua pihak baik individu, masyarakat, maupun negara untuk menjaganya. Dalam Al-Qur’an, prinsip ini ditegaskan dalam Surah Al-Isra ayat 70:

 

  وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ۞۝٧٠مِّمَّنْ خَلَقْنَاتَفْضِيْلًا

 

Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna…”

 

Sebuah ayat yang menyiratkan bahwa penghormatan terhadap martabat manusia bukan hanya urusan sosial, tetapi juga spiritual.

 

Islam hadir bukan hanya sebagai sistem ibadah, tetapi sebagai panduan hidup (way of life) yang komprehensif. Salah satu konsep penting dalam ajaran Islam adalah maqashid al-syari’ah atau tujuan-tujuan utama syariat. Dalam konsep ini, syariat ditujukan untuk menjaga lima hal mendasar yang sekaligus menjadi kerangka HAM dalam Islam: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta yang dikenal dengan al-ḍarūriyyāt al-khams.

 

  1. Menjaga Agama (Ḥifẓ ad-Dīn). Islam menjamin kebebasan beragama. QS Al-Baqarah ayat 256 menyatakan: لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” Prinsip ini menegaskan bahwa iman sejati tak lahir dari tekanan, melainkan dari keyakinan hati.
  2. Menjaga Jiwa (Ḥifẓ an-Nafs). Islam sangat menghormati hak hidup manusia. Dalam QS Al-Maidah ayat 32 ditegaskan,

مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِيٓ إِسْرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفْسًۭا۟ بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍۢ فِى ٱلْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًۭا

“Barang siapa membunuh satu jiwa tanpa alasan yang benar, maka seolah-olah ia telah membunuh seluruh umat manusia.” Ini menunjukkan betapa sakralnya kehidupan dalam Islam.

 

  1. Menjaga Akal (Ḥifẓ al-‘Aql). Akal adalah anugerah Allah yang menjadi dasar kemanusiaan. Islam melindungi akal dengan melarang hal-hal yang merusaknya, seperti alkohol dan narkoba. Bahkan, kebebasan berpikir dan berpendapat dijunjung tinggi sepanjang tidak mencederai nilai kebenaran dan kemaslahatan umum.
  2. Menjaga Keturunan (Ḥifẓ al-Māl). Islam melindungi institusi keluarga dan kehormatan manusia dengan melarang zina, pelecehan, dan kekerasan seksual. Perlindungan terhadap anak, perempuan, dan generasi penerus merupakan bagian dari misi besar Islam.
  3. Menjaga Harta (Hifz Al-Mal). Kepemilikan pribadi dijamin dalam Islam. Perampasan, pencurian, korupsi, dan segala bentuk penyalahgunaan harta dilarang keras. Islam bahkan menganjurkan distribusi kekayaan secara adil, sebagaimana tercermin dalam ajaran zakat dan sedekah.

Yang menarik, HAM dalam Islam juga mencakup aspek kesetaraan yang melampaui batas ras, warna kulit, maupun status sosial. Dalam khutbah terakhirnya, Rasulullah SAW bersabda,

 

“يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى

 

“Wahai sekalian umat manusia, ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu satu (esa). Nenek moyangmu juga satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa selain Arab (Ajam), dan tidak ada kelebihan bangsa lain (Ajam) terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah (putih) terhadap yang berkulit hitam, tidak ada kelebihan yang berkulit hitam dengan yang berkulit merah (putih), kecuali dengan taqwanya”. (HR. Ahmad, 22978).

 

Pernyataan ini merupakan deklarasi HAM yang disampaikan lebih dari 14 abad lalu jauh mendahului konsep universal barat.

 

Di masa Nabi, praktik-praktik diskriminatif juga dikritik secara langsung. Salah satunya adalah saat Rasulullah menegur Abu Dzar karena menghina Bilal bin Rabah dengan sebutan yang merendahkan. Rasul berkata, “Sesungguhnya kamu masih memiliki sifat jahiliah.”

 

عَنْ الْمَعْرُورِ بْنِ سُوَيْدٍ قَالَ لَقِيتُ أَبَا ذَرٍّبِالرَّبَذَةِ وَعَلَيْهِ حُلَّةٌ وَعَلَى غُلَامِهِ حُلَّةٌ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنِّي سَابَبْتُ رَجُلًا فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ فَقَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمْ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ

 

Dari al-Ma’rur ibn Suwayd berkata: “Aku bertemu Abu Dzar di Rabadzah yang saat itu mengenakan pakaian dua lapis, begitu juga anaknya, maka aku tanyakan kepadanya tentang itu, maka dia menjawab: ‘Aku telah menghina seseorang dengan cara menghina ibunya, maka Nabi saw menegurku: Wahai Abu Dzar apakah kamu menghina ibunya? Sesungguhnya kamu masih memiliki (karakter) jahiliyyah. Saudara-saudara kalian adalah tanggungan kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah tangan kalian. Maka siapa yang saudaranya berada di bawah tangannya (tanggungannya) maka jika dia makan berilah makanan seperti yang dia makan, bila dia berpakaian berilah seperti yang dia pakai, janganlah kalian membebani mereka sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka. Jika kalian membebani mereka, maka bantulah mereka.’” (HR al-Bukhari)

Teguran ini menjadi pelajaran bahwa dalam Islam, hak dan martabat seseorang tidak boleh direndahkan hanya karena latar belakang etnis atau warna kulit.

 

Sebagai penutup, kita bisa menyimpulkan bahwa Islam dan HAM bukanlah dua kutub yang saling bertentangan. Islam bahkan menawarkan pendekatan yang lebih mendalam, karena HAM dalam Islam bersumber dari wahyu ilahi, bukan hanya produk kesepakatan manusia. Dengan memahami ini, kita sebagai umat Islam dituntut untuk tidak hanya menghormati HAM, tetapi juga menjadikannya bagian dari praktik keislaman yang utuh sebagai wujud dari iman dan ketakwaan yang sejati.

No Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *