Banyak dari kita tumbuh dalam keluarga yang merasa sudah berkomunikasi, padahal sebenarnya hanya bertukar perintah dan ekspektasi. “Jangan pulang malam.” “Belajar yang rajin.” “Kamu harus ngerti keadaan orang tua.” Kalimat-kalimat seperti itu terdengar biasa saja, tapi bagi sebagian remaja, ia bisa terasa seperti tekanan yang tak selesai-selesai. Di sisi lain, saat remaja mulai menarik diri, orang tua sering menyebutnya “masa-masa sulit”, tanpa benar-benar mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Padahal bisa jadi, pola komunikasi seperti itu yang justru pelan-pelan menggerus kesehatan mental mereka.
Rumah Tak Selalu Ramah
Banyak orang tua mengira sudah berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Padahal, yang terjadi sering kali hanya rutinitas bertukar instruksi: pulang jam berapa, jangan main HP terus, jangan lawan orang tua. Di sisi lain, remaja tumbuh dalam ruang yang makin kompleks, tekanan akademik, tuntutan sosial media, hingga pencarian identitas yang terus berubah.
Dalam kondisi seperti itu, komunikasi bukan cuma tentang berbicara, tapi tentang ruang: apakah remaja punya tempat yang cukup aman untuk bersuara tanpa takut dihakimi? Banyak dari mereka memilih diam, bukan karena tidak ada yang ingin dibicarakan, tapi karena tidak yakin akan didengar.
Dalam banyak kasus, tekanan mental bukan datang dari luar, tapi justru dari tempat yang seharusnya paling aman, yaitu rumah. Dan mungkin, persoalannya sederhana: bukan karena tidak peduli, tapi karena tidak tahu cara membangun ruang komunikasi yang sehat.
Banyak Pola, Satu Masalah Lama
Di dalam banyak rumah, komunikasi seringkali bukan soal mendengarkan, tapi soal mengatur. Karena itu, muncul pola yang terus berulang dari generasi ke generasi. Yang satu bicara, yang lain diam. Yang satu mengarahkan, yang lain diminta mengikuti. Tidak semua keluarga seperti itu, tapi cukup banyak untuk disebut gejala.
Dalam kajian komunikasi keluarga, dikenal tiga pola besar: otoriter, demokratis, dan gabungan dari keduanya. Pola otoriter menempatkan orang tua sebagai pusat kendali. Mereka menentukan arah, menetapkan batas, dan kadang membungkam suara anak demi alasan disiplin. Pola demokratis memberi ruang lebih luas. Anak boleh menyampaikan pendapat, bahkan ikut menentukan keputusan. Sementara pola otoriter-demokratis berdiri di tengah. Ada batas, tapi juga ada dialog. Ada kendali, tapi tidak menutup kemungkinan bicara dua arah.
Penelitian menunjukkan bahwa pola gabungan ini, otoriter-demokratis, cenderung lebih sehat secara psikologis. Ia menawarkan struktur yang jelas, tapi tetap memberi ruang aman bagi remaja untuk bicara tanpa takut disalahkan. Dalam pola seperti ini, komunikasi tidak menjadi alat kendali. Ia menjadi jembatan untuk memahami.
Tapi masalahnya bukan pada pilihan pola semata. Banyak keluarga bahkan tidak menyadari pola apa yang mereka jalani. Mereka hanya mengulang cara yang dulu mereka alami, dengan asumsi bahwa itu cukup. Padahal, dunia di luar rumah terus berubah. Dan remaja hari ini bukan anak-anak dari zaman yang sama.
Remaja dalam Ambang: Bicara atau Diam
Remaja tumbuh dalam fase paling bising. Di luar rumah, mereka dibombardir dengan tuntutan untuk menjadi cukup pintar, cukup menarik, cukup kuat, dan cukup stabil. Di dalam rumah, mereka diharapkan menurut, mengerti, dan kalau bisa tidak banyak bertanya.
Saat komunikasi dalam keluarga tidak memberi ruang aman, remaja memilih diam. Mereka menarik diri dan mulai menyimpan isi kepala serta perasaannya sendiri. Ada yang menyimpannya rapi dalam buku catatan. Ada yang meledakkannya di media sosial. Ada pula yang perlahan kehilangan semangat untuk bicara, bahkan pada diri sendiri.
Ketika komunikasi berubah menjadi tekanan, kesehatan mental menjadi taruhan. Kecemasan, perasaan tidak cukup, rasa bersalah, dan kemarahan yang sulit dijelaskan bisa tumbuh dari ruang yang terlalu senyap. Dalam beberapa kasus, semuanya muncul tanpa satupun kata kasar atau bentakan.
Yang paling sering terjadi bukan konflik terbuka, melainkan keterasingan yang diam-diam. Anak dan orang tua tinggal di atap yang sama, tetapi tidak benar-benar mengenal isi kepala satu sama lain. Dan ketika itu berlangsung lama, rumah kehilangan fungsinya sebagai tempat pulang. Ia berubah menjadi tempat singgah yang sepi. Penuh aturan, tetapi minim percakapan yang bermakna.
Membuka Ruang, Bukan Mengendalikan
Banyak orang tua ingin anaknya terbuka. Tapi keterbukaan tidak muncul dari permintaan, melainkan dari kebiasaan. Ia tumbuh dari obrolan-obrolan kecil yang tidak dihakimi. Dari kebiasaan bertanya tanpa langsung mengoreksi. Dari mendengar tanpa buru-buru menyimpulkan.
Komunikasi yang sehat tidak berarti tidak ada konflik. Justru dari perbedaan itulah hubungan diuji dan dikuatkan. Keluarga bukan tempat yang selalu tenang, tapi semestinya menjadi tempat yang aman. Tempat dimana remaja merasa cukup diterima untuk bisa menjadi diri sendiri, sekaligus cukup ditantang untuk tumbuh.
Tidak ada satu pola komunikasi yang sempurna. Tapi yang paling membekas biasanya bukan nasihat panjang, melainkan momen ketika mereka merasa didengar. Dan mungkin, itu sudah cukup untuk memulai sesuatu yang lebih sehat.
Referensi
Djayadin, & Munastiwi. (2020). Pola komunikasi keluarga terhadap kesehatan mental anak di tengah pandemi Covid-19. Raudhatul Athfal: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini, 4(2), 164-173. https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/2117584