Peran Diplomasi dalam Resolusi Konflik Internasional Perebutan Pulau Sipadan- Ligitan antara Indonesia dan Malaysia

sumber: canva.com

Sengketa wilayah antarnegara menjadi konflik yang serius karena hal ini memengaruhi upaya negara dalam mencari langkah diplomasi yang tepat dengan meminimalisir terjadinya konfrontasi militer yang berpotensi meluasnya konflik. Perebutan antara Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di antara Kalimantan dan Sabah, perbatasan antara Indonesia dan Malaysia merupakan contoh nyata bagaimana perbedaan klaim wilayah dapat berkembang menjadi perdebatan panjang. Dalam hal ini, diplomasi dan hukum internasional memainkan peran penting dalam menyelesaikan perselisihan wilayah yang akhirnya diselesaikan melalui jalur hukum internasional.  Putusan Mahkamah Internasional atau International Court of Justice pada tahun 2002 memutuskan untuk memenangkan Malaysia sebagai pemilik Pulau Sipadan dan Ligitan. Namun, untuk mencapai keputusan tersebut, apa saja strategi diplomasi yang digunakan Indonesia dan Malaysia dalam mempertahankan kedaulatan wilayahnya? Apakah strategi tersebut sudah optimal?

 

Penyelesaian sengketa antarwilayah bukan hanya soal klaim geografis melalui historis, tetapi juga membutuhkan peran penting dari diplomasi yang proaktif. Hal ini dapat diupayakan melalui negosiasi bilateral yang kuat, penguatan efektivitas administratif, serta pemanfaatan mekanisme hukum internasional secara strategis. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai bagaimana strategi diplomasi dapat berperan dan strategi diplomasi seperti apa yang menghasilkan keputusan memenangkan Malaysia. Kita harus mengulik lebih jauh tentang sejarah sengketa wilayah ini.

 

Sejarah Sengketa Wilayah Sipadan-Ligitan

 

Sumber gambar : IMFahad, 2023, Kompasiana

 

Sengketa Sipadan dan Ligitan bermula dari warisan kolonial pada Perjanjian Anglo-Dutch Treaty 1891 menjadi dasar bagi pembagian wilayah antara Hindia Belanda (Indonesia) dan Malaya (Malaysia). Namun, perjanjian ini tidak secara eksplisit menyebutkan kepemilikan Sipadan dan Ligitan yang kemudian menjadi celah dalam klaim kepemilikan kedua negara setelah merdeka. Pulau Sipadan berada di 15 mil  laut sekitar 24 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia, dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari  pantai timur Pulau Sebatik di mana bagian utaranya merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur selatan merupakan wilayah Indonesia. Sementara itu,  Ligitan terletak 34 km dari pantai daratan Sabah dan 93 km dari pantai Pulau Sebatik di ujung timur luar pulau Kalimantan. Di titik dilema geografis inilah konflik sengketa ini dimulai.

 

Pada awalnya, pemerintah Indonesia mengklaim kepemilikannya terhadap kedua pulau itu. Namun, klaim tersebut lemah karena tidak mencantumkan kedua pulau tersebut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Sedangkan di pihak Malaysia, kelemahannya terletak pada peta negaranya yang diterbitkan hingga tahun 1970-an, yang tidak pernah mencantumkan kedua pulau tersebut. Berdasarkan perundingan dan kesepakatan, kedua negara pulau itu berada dalam status quo yang disetujui Memorandum of Understanding (MOU) pada 22 September 1969.

 

Kegagalan Upaya Penyelesaian Diplomatik: Negosiasi Bilateral

 

Pada tahun 1969, kedua negara memulai negosiasi bilateral untuk menyelesaikan sengketa ini dan sudah menghasilkan status quo. Tetapi pada tahun 1979, Malaysia berubah sikap dan mengambil langkah-langkah secara unilateral dengan  menerbitkan peta-peta  yang menunjukkan bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian wilayah milik Malaysia, bahkan mengizinkan warga negaranya beraktivitas di wilayah tersebut. Karena inilah, Indonesia menganggap Malaysia telah melanggar status quo yang telah disepakati. Hal ini menimbulkan ketegangan baru, meskipun tidak secara militaris namun ketegangan antara kedua negara tersebut meningkat dengan kehadiran patroli angkatan laut dan peningkatan aktivitas pengamanan di sekitar perairan yang disengketakan.

 

Timbulnya kesadaran bahwa konflik ini dapat mengganggu hubungan bilateral dan stabilitas kawasan akhirnya mendorong kedua negara untuk mencari solusi yang lebih formal melalui jalur hukum internasional. Saat itu, Indonesia mengutus Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono, sementara Malaysia diwakili oleh Wakil Perdana Menteri, Anwar Ibrahim. Dalam perundingan terkait sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, kedua negara mengadakan empat pertemuan. Dua di antaranya berlangsung di Jakarta pada 17 Juli 1995 dan 16 September 1995, sementara dua lainnya diadakan di Kuala Lumpur pada 22 September 1995 dan 21 Juli 1996. Setelah serangkaian diskusi, kedua pihak akhirnya mencapai kesepakatan untuk membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional (MI) atau International Court of Justice (ICJ) untuk memperoleh keputusan yang sah berdasarkan hukum internasional.

 

Penyelesaian Diplomasi melalui Mahkamah Internasional

 

Keputusan ini merupakan langkah diplomatik yang mencerminkan preferensi kedua negara untuk menyelesaikan perselisihan mereka melalui jalur hukum internasional alih-alih melalui konfrontasi militer yang dapat memperburuk hubungan kedua negara. Langkah ini juga menunjukkan kesadaran kedua belah pihak akan pentingnya menjaga stabilitas kawasan Asia Tenggara serta menghormati hukum internasional sebagai alat untuk menyelesaikan sengketa, bukan malah memperkeruh konfliknya.

 

Proses ini memakan waktu cukup lama. Indonesia mengklaim berdasarkan Konvensi 20 Juni 1891 antara Inggris dan Belanda. Penyampaian Indonesia merupakan pewaris dari Sultan Bulungan yang memiliki kekuasaan terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan disertakan bukti-bukti effective occupation. Sedangkan penyampaian oleh Malaysia yaitu kedaulatan diperoleh berdasarkan original title oleh Sultan Sulu, dan berdasarkan bukti-bukti effective occupation. Mahkamah Internasional (MI) pun menimbang bukti yang diajukan oleh Malaysia lebih effective administration terhadap kedua pulau tersebut, yang lebih menekankan pada bukti-bukti pengelolaan nyata dan keberadaan fisik di wilayah tersebut, daripada sekadar dokumen atau peta masa lalu. Pada akhirnya Keputusan Mahkamah Internasional (MI) memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligitan pada tanggal 17 Desember 2002.

 

Apakah Keputusan Mahkamah Internasional Membuat Hubungan Bilateral Indonesia-Malaysia Menjadi Buruk?

 

Berdasarkan Keputusan Mahkamah Internasional (MI) yang memberikan kedaulatan pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia, hal ini sekilas tampak dapat menimbulkan konflik baru. Namun perlu diketahui lebih dahulu bahwa hal ini memberikan beberapa pelajaran penting dalam diplomasi dan penyelesaian sengketa internasional, terutama bagaimana pentingnya pengelolaan aktif dan berkelanjutan atas wilayah yang diklaim, terutama dalam sengketa perbatasan yang melibatkan pulau-pulau kecil atau perairan yang kaya sumber daya alam. Meskipun Indonesia memiliki dasar klaim yang kuat berdasarkan dokumen sejarah dan perjanjian kolonial, pengelolaan yang lebih aktif oleh Malaysia memberikan keunggulan hukum yang tidak bisa diabaikan. Strategi ini menjadi sangat penting untuk Indonesia kedepannya supaya lebih proaktif dalam mengelola wilayah perbatasannya, termasuk meningkatkan kehadiran fisik dan administratif di pulau-pulau terluar, untuk memperkuat klaim kedaulatannya.

 

Dalam hal ini, Malaysia lebih dapat menguasai cara diplomasi berdasarkan effective occupation terhadap dua pulau itu. Walaupun Indonesia mungkin kalah soal sengketa wilayah ini, Indonesia tetap menerima keputusan Mahkamah Internasional dengan menghormati prinsip hukum internasional, sementara Malaysia juga berupaya memperbaiki hubungan dengan Indonesia melalui langkah-langkah diplomatik yang konstruktif. Kedua negara tetap mempunyai hubungan bilateral yang tetap terjaga stabil setelah putusan tersebut. Kedepannya, keputusan ini berdampak jangka panjang terhadap kebijakan Indonesia dalam mengelola wilayah perbatasan. Insiden ini memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia mengenai pentingnya pengelolaan dan pemantauan yang lebih baik atas wilayah perbatasan, terutama di area yang rawan sengketa.

 

Meski tidak selalu berhasil, diplomasi merupakan salah satu cara penyelesaian konflik internasional yang cukup baik. Diplomasi akan menghasilkan buah yang baik jika menggunakan strategi diplomasi yang benar dan tidak gegabah.

 

Referensi

 

Datul, S., Maghi, Y. N., & Arman, Y. (2024). Sengketa perbatasan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia. Jurnal Kajian Ilmiah Interdisiplinier, 8(8), 105-109. Universitas Katholik Widya Mandira Kupang.

Novitasari, C. N. (2021). Analisis putusan Mahkamah Internasional dalam kasus sengketa Indonesia-Malaysia mengenai Pulau Sipadan dan Ligitan. Journal of Jurisprudence and Legisprudence, 231-262. Universitas Islam Kadiri, Kediri, Indonesia.

No Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *