Sinema Arab sebagai Wadah Protes: Kamera sebagai Senjata Perlawanan Non-Kekerasan

sumber: serambinews.com

Sinema Arab telah lama menjadi medium ekspresif untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap ketidakadilan sosial, represi politik, dan dominasi kolonial. Melalui narasi visual, para sineas Arab mengangkat isu-isu yang seringkali disensor atau diabaikan oleh media arus utama. Tulisan ini mengeksplorasi bagaimana film-film dari dunia Arab berfungsi sebagai alat perlawanan non-kekerasan, dengan menyoroti karya-karya yang mencerminkan semangat protes dan perubahan sosial.​

 

Sejak awal abad ke-20, sinema di dunia Arab telah berkembang tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan politik dan sosial. Dalam konteks ketegangan politik dan sosial yang melanda banyak negara Arab, film menjadi medium yang kuat untuk mengartikulasikan aspirasi rakyat dan mengkritik struktur kekuasaan yang menindas.​

 

  1. “Jamila, the Algerian” (1958) oleh Youssef Chahine

Film ini mengisahkan perjuangan Djamila Bouhired, seorang pejuang wanita dalam revolusi Aljazair melawan penjajahan Prancis. Sebagai salah satu film pertama yang menyoroti peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan, karya ini menjadi simbol solidaritas anti-kolonial di dunia Arab. Meskipun dilarang di Aljazair selama beberapa dekade, film ini tetap menjadi referensi penting dalam diskursus sinema politik.​ 

 

  1. Karya-karya Khaled Youssef

Sutradara Mesir, Khaled Youssef, dikenal dengan film-filmnya yang mengkritik ketidakadilan sosial, korupsi, dan represi politik. Karya-karyanya seperti “Heya Fawda” dan “Hena Maysara” dianggap sebagai cerminan dari kondisi sosial yang akhirnya memicu Revolusi 25 Januari 2011 di Mesir. Youssef menggunakan gaya realisme untuk menggambarkan kehidupan rakyat jelata dan tantangan yang mereka hadapi.​ 

 

  1. “Alephia 2053” (2021)

Film animasi Lebanon ini menggambarkan masa depan distopia di dunia Arab yang diperintah oleh diktator. Melalui cerita tentang sekelompok aktivis yang menggulingkan rezim otoriter, film ini menjadi metafora kuat untuk perlawanan terhadap tirani. Dirilis di YouTube, “Alephia 2053” mendapatkan perhatian luas sebagai inovasi dalam sinema Arab dan sebagai bentuk protes terhadap penindasan.​ 

 

  1. “In Between” (2016) oleh Maysaloun Hamoud

Film ini menceritakan kehidupan tiga wanita Palestina yang tinggal bersama di Tel Aviv, menghadapi tekanan sosial dan patriarki. Dengan menggambarkan perjuangan mereka untuk kebebasan dan identitas, “In Between” menjadi simbol perlawanan feminis dalam konteks masyarakat konservatif. Film ini memicu perdebatan luas dan dianggap sebagai bentuk protes terhadap norma-norma sosial yang mengekang.​ 

 

Festival dan Platform Sinema Protes

Festival Film Arab Rotterdam mengadakan diskusi panel bertajuk “Film sebagai Perlawanan Non-Kekerasan”, menyoroti bagaimana sineas dari Mesir, Suriah, dan Arab Saudi menggunakan film untuk mengkritik ketidakadilan dan menyuarakan perubahan sosial. Panel ini menunjukkan bahwa sinema dapat menjadi alat yang efektif untuk perlawanan tanpa kekerasan.​

 

Selain itu, platform streaming seperti Shasha, yang didirikan oleh kurator Irak-Irlandia Roisin Tapponi, menyediakan akses ke film-film independen dari Timur Tengah dan Afrika Utara yang seringkali sulit ditemukan di layanan streaming besar. Shasha bertujuan untuk mengatasi sensor dan hambatan distribusi, memberikan ruang bagi sineas yang karyanya seringkali tidak mendapatkan perhatian yang layak.

 

Sinema Arab telah memainkan peran penting sebagai medium perlawanan non-kekerasan, memberikan suara kepada mereka yang tertindas dan mengkritik struktur kekuasaan yang menindas. Melalui narasi yang kuat dan autentik, film-film ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menginspirasi perubahan sosial dan politik di dunia Arab.

 

Referensi:

 

  • Chahine, Y. (Director). (1958). Jamila, the Algerian [Film]. Magda Films.
  • Hamoud, M. (Director). (2016). In Between [Film]. En Compagnie des Lamas; Deux Beaux Garçons Films.
  • Abou Mhaya, J. (Director). (2021). Alephia 2053 [Film]. Spring Entertainment.
  • Khatib, L. (2012). Storytelling in World Cinemas: Contexts. Columbia University Press.
  • Khouri, M. (2010). The Arab National Project in Youssef Chahine’s Cinema. American University in Cairo Press.
  • Gugler, J. (2011). Film in the Middle East and North Africa: Creative Dissidence. University of Texas Press.
  • Sakr, N. (2004). Women and Media in the Middle East: Power Through Self-Expression. I.B. Tauris.

No Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *